top of page
  • Writer's pictureSynergy Policies

Kudeta Myanmar: Menlu RI Bertemu Menlu Myanmar di Thailand, Aktivis Prodemokrasi Protes Keras

Updated: Mar 23, 2021


Artikel ini dipublikasikan oleh bbc.com dengan judul "Kudeta Myanmar: Menlu RI bertemu menlu Myanmar di Thailand, aktivis prodemokrasi protes keras" atau pada tautan berikut. Versi audio juga dapat didengar lewat Podcast BBC Indonesia pada tautan berikut.



Menampilkan pendapat Dinna Prapto Raharja, Ph.D,

Pendiri Synergy Policies dan Dosen Bidang Ilmu Hubungan Internasional



Indonesia menekankan pentingnya proses transisi demokrasi yang inklusif seraya melanjutkan komunikasi dengan semua pihak tentang situasi di Myanmar. Hal itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi seusai bertemu dengan Menlu Thailand dan Menlu Myanmar yang ditunjuk militer pada Rabu (24/02).


Pertemuan digelar di ibu kota Thailand, Bangkok, sesudah rencana kunjungan Retno Marsudi ke ibu kota Myanmar mendapat penolakan keras dari gerakan prodemokrasi yang menilai langkah tersebut akan memberikan legitimasi kepada kudeta.


Penolakan itu, menurut seorang pengamat hubungan internasional, disebabkan oleh posisi dan tujuan Indonesia yang tidak jelas sejak awal soal situasi di Myanmar.



Kronologi Peristiwa Kudeta yang Dilakukan oleh Militer Myanmar pada Awal Tahun 2021

'Proses transisi demokrasi yang inklusif'


Menlu Retno Marsudi, pada Rabu (24/02), mengatakan Indonesia sedang melakukan komunikasi secara intensif dengan pihak militer Myanmar dan CRHP, yakni pemerintahan sipil oposisi yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan, untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah di Myanmar.


Hal itu disampaikan Retno dalam acara jumpa pers virtual pada hari Rabu (24/02) setelah ia mendarat di Jakarta dari Bangkok.


Di ibu kota Thailand itu, ungkap Retno, ia melakukan pertemuan dengan Menlu Thailand, Don Pramudwinai, dan Menlu Myanmar, Wunna Maung Lwin.


Dalam pertemuan tersebut, jelas Retno, ia menyampaikan keprihatinan Indonesia atas situasi di Myanmar dan menambahkan bahwa keselamatan rakyat Myanmar adalah prioritas.


"Oleh karena itu, kita meminta semua pihak untuk menahan diri dan tidak menggunakan kekerasan untuk menghindari terjadinya korban dan pertumpahan darah. Indonesia terus menekankan pentingnya proses transisi demokrasi yang inklusif," kata Menlu Retno dalam jumpa pers virtual, Rabu (24/02).


"Oleh karena itu diperlukan sebuah kondisi yang kondusif, berupa antara lain dialog, rekonsiliasi, trust building[membangun kepercayaan]. Dan, Indonesia akan bersama rakyat Myanmar," lanjutnya.


Retno mengatakan Indonesia berkomunikasi dengan semua pihak, termasuk militer Myanmar dan CRHP, yakni pemerintah sipil oposisi yang dibentuk oleh anggota parlemen yang digulingkan.


Hal ini bertujuan untuk berkontribusi dalam penyelesaian masalah di Myanmar.


"Dengan demikian komunikasi yang dilakukan harus diletakkan dalam kerangka memberikan kontribusi untuk mencari penyelesaian demi kepentingan rakyat Myanmar," ujarnya.


"Keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar merupakan hal utama yang harus dilindungi. Keinginan rakyat Myanmar harus didengarkan," tambah Retno.


Pertemuan antara Menlu RI dengan Menlu Myanmar di Bangkok tersebut dilaksanakan setelah Retno membatalkan kunjungan ke Nay Pyi Taw yang direncanakan untuk Kamis (25/02).


Rencana kunjungan itu ditolak oleh para pengunjuk rasa yang mengatakan hal tersebut akan memberikan legitimasi pada kudeta.


Indonesia juga sebelumnya disebut-sebut mendukung pemilu ulang di Myanmar - sebuah laporan yang kemudian dibantah oleh Kementerian Luar Negeri RI.


Meski demikian, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Yangon telah didemo pada Selasa (23/02) dan Rabu (24/02) oleh para pengunjuk rasa yang menentang.



Kronologi Reaksi Negara-Negara dan Lembaga Internasional terhadap Kudeta yang Dilakukan oleh Militer Myanmar pada Awal Tahun 2021


'Kami tidak ingin pemilihan ulang'


Thinzar Shunlei Yi, seorang aktivis anti-kudeta di Yangon, mengatakan kurangnya transparansi informasi menyebabkan kepanikan di antara masyarakat di Myanmar soal kabar kunjungan Menlu RI ke Nay Pyi Taw.


Kantor berita Reuters melaporkan kabar tersebut, didasarkan pada surat Kementerian Transportasi Myanmar yang menyebutkan Menlu RI Retno Marsudi akan tiba di ibu kota Myanmar, Nay Pyi Taw, pada Kamis pagi pukul 08:10 waktu setempat. Retno kemudian akan bertolak pada 11:50 waktu setempat.


Seorang pejabat Myanmar mengonfirmasi bahwa surat itu memang benar dikeluarkan Kementerian Transportasi Myanmar.


Pengunjuk rasa yang menentang kudeta khawatir bahwa kunjungan tersebut akan memberikan legitimasi terhadap kepemimpinan militer.


"Kami bahkan tidak diberi tahu tentang perjalanan itu dan kami tidak tahu apa yang akan dia (Menlu Retno Marsudi) katakan kepada pihak kudeta militer," kata Thinzar Shunlei melalui sambungan telpon, Rabu (24/02).


"Jadi semua orang di sini kaget dengan rencana ini dan kami sangat khawatir jika kunjungan ini akan melegitimasi kelompok kudeta militer sebagai pemerintah resmi. Itu yang menjadi perhatian utama kami," imbuhnya.


Ia mengapresiasi upaya Indonesia, namun meminta hal itu dilaksanakan dengan cara yang mengakui hasil pemilihan umum pada November lalu, yaitu dengan mengakui keberadaan CRPH.


CRPH, atau Committee Representing Pyidaungsu Hluttaw, adalah pemerintah sipil oposisi yang dibentuk oleh para anggota parlemen yang digulingkan.


Thinzar mengatakan bahwa komunitas internasional semestinya berkomunikasi dengan juru bicara CRPH, Htin Lin Aung, bukan dengan pihak militer.


"Mereka perlu terlebih dahulu mengakui keberadaan CRPH sebagai badan resmi yang dibentuk oleh perwakilan terpilih, kemudian mereka bisa meminta ide dan apa yang bisa mereka bantu.


"Jadi jika CRPH ingin mereka menengahi dengan kelompok kudeta militer, maka mereka bisa bergabung," tutur Thinzar Shunlei.


Hal senada dikatakan oleh Khin Sandar Tun, seorang anggota Future Nation Alliance, kelompok aktivis yang berbasis di Myanmar.


"Kami tidak ingin pemilihan ulang. Pemilihan sudah selesai. Kami telah memilih anggota parlemen. Dan lebih dari 400 anggota parlemen itu mewakili rakyat Myanmar. Sekarang sebagai kelompok mereka disebut CRPH. Kami ingin memberikan kekuatan rakyat kepada badan yang sah itu, bukan kepada junta militer," ujar Khin Sandar.


'Posisi Indonesia harus jelas'


Dinna Prapto Raharja, pendiri Synergy Policies dan pengajar hubungan internasional di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, mengatakan posisi Indonesia tentang kudeta Myanmar tidak jelas sejak tahap awal.


Hal itu, menurut Dinna, dapat menjadi titik lemah dalam langkah yang diambil Indonesia dalam pendekatannya melalui mekanisme ASEAN.


Ia menambahkan bahwa ketidakjelasan dari awal ini dapat menjadi salah satu faktor yang menimbulkan kesalahpahaman di publik.


"Pesan kita intinya harus lebih clear, dan jelas. Bahwa kebebasan sipil yang sudah dijalankan sejak 2015 perlu dipertahankan. Dan bahwa kita tidak menghendaki kemunduran penghormatan atas kebebasan sipil dan HAM yang sudah sudah dimulai tahun 2015," kata Dinna, mengacu pada pelaksanaan pemilihan umum sebelumnya di Myanmar.


"Dalam kasus terakhir ini, kita melihat bahwa ketika satu pesan itu masuk dalam mekanisme, dalam hal ini mekanisme ASEAN, itu pasti akan melalui rangkaian kompromi. Makanya kalau kita di awal tidak clear, tidak jelas posisi Indonesia ada di mana, yang muncul adalah kesalahpahaman baik di pihak Myanmar maupun di publik.


"Maka sebenarnya posisi Indonesia harus jelas dulu, supaya nanti posisi negosiasi dengan ASEAN itu bagian dari proses berikutnya, dan nggak disalahartikan," ujar Dinna.


Namun demikian, mantan Duta Besar Indonesia untuk Myanmar periode 2013-2018, Ito Sumardi, mengatakan selama ini Indonesia melakukan pendekatan yang ia sebut konstruktif dan merujuk pada prinsip ASEAN yang saling tidak menginterferensi (non-interference).


"Jadi bagaimana kita memberikan adalah saran-saran yang sifatnya membangun. Kemudian kita juga melakukan non-megaphone diplomacy, intinya kita melakukan pendekatan tidak dengan cara disebarluaskan," tutup Ito Sumardi.


Posisi Indonesia soal Myanmar


Sebelumnya, Kemlu RI juga membantah laporan yang menyebutkan Indonesia mendukung pemilihan umum baru di Myanmar setelah kudeta yang berlangsung pada 1 Februari lalu.


"Posisi Indonesia tidak berubah, tidak ada suatu pergeseran posisi apa pun. Saya tidak tahu apa yang dikutip media, tetapi sejauh yang saya tahu tidak ada proposal seperti itu dari Kemlu RI," kata Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, dalam jumpa pers virtual pada Selasa (23/02).


Menlu Retno Marsudi, menurut Faizasyah, masih terus mengumpulkan masukan dan perspektif negara ASEAN lain terkait solusi untuk Myanmar.


"Saat ini Menlu RI masih berkonsultasi dan mengumpulkan perspektif dan masukan dengan Menlu ASEAN lainnya, setelah itu konsultasi itu akan berkembang menjadi masukan kebijakan yang akan didiskusikan dalam rapat khusus ASEAN (soal Myanmar)," kata Faizasyah.


Pernyataan itu diutarakan Faizasyah untuk membantah laporan kantor berita Reuters yang menyebut bahwa Indonesia tengah mencari dorongan negara ASEAN lainnya untuk mendukung Myanmar melakukan pemilihan umum ulang pascakudeta.


Laporan itu memicu kecaman dan kritik dari banyak pihak, terutama warga Myanmar di media sosial.


Sekelompok warga juga dilaporkan berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar Indonesia di Myanmar untuk memprotes sikap Indonesia yang diduga mendukung pemilihan umum ulang yang diserukan militer negara tersebut.


Juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, mengatakan: "Terlalu banyak spekulasi di medsos".

bottom of page