top of page
  • Writer's pictureSynergy Policies

Cerita Akhir Pekan: Plus Minus Rencana Paspor Vaksinasi COVID-19 Digital


Artikel ini dipublikasikan oleh liputan6.com dengan judul "Cerita Akhir Pekan: Plus Minus Rencana Paspor Vaksinasi COVID-19 Digital" atau pada tautan berikut.



Menampilkan pendapat Dinna Prapto Raharja, Ph.D,

Pendiri Synergy Policies dan Dosen Bidang Ilmu Hubungan Internasional



Akibat pandemi COVID-19, perjalanan internasional dihadapkan pada kondisi tak biasa. Sebagian besar negara di dunia rapat-rapat menutup perbatasan, bermaksud menekan laju transmisi virus corona baru, bahkan setelah satu tahun masa krisis kesehatan berlangsung.


Maju-mundur pemberlakuan aturan pun sudah terjadi selama kurang lebih setengah tahun ke belakang. Berbagai gagasan dimunculkan untuk dengan hati-hati mencari kenormalan di "situasi luar biasa," dan yang terbaru, rencana paspor vaksinasi COVID-19 digital menyeruak.


Komisi Uni Eropa, menurut laporan VOA News yang dilansir Jumat, 5 Maret 2021, bakal mengajukan proposal terkait pengadaan paspor vaksinasi COVID-19 digital bernama "Digital Green Pass." Ini dilakukan guna menyelesaikan masalah yang "telah memecah negara anggota," kata Ketua Komisi Ursula von der Leyen.


Menurut Dinna Prapto Raharja, praktisi, sekaligus pengajar hubungan internasional, paspor vaksinasi COVID-19 digital berusaha menyelesaikan setidaknya dua hal. Pertama, menghidupkan lagi sektor-sektor ekonomi yang bergantung pada kunjungan fisik, seperti turisme, logistik, dan perdagangan.


"Sekaligus mencegah penyebaran penyakit dengan cara membuat siapa pun lebih berhati-hati untuk travel lintas negara. Sifat pencegahan ini lekat kaitannya dengan sifat penyakit menular yang sudah jadi pandemi, yakni sulit diberantas, kecuali masyarakat membentuk kekebalan tubuh bersama," paparnya melalui pesan pada Liputan6.com, Jumat, 5 Maret 2021.


Sisi baik paspor digital ini, menurut pendiri Synergy Policies tersebut, yakni sebagai cara lintas negara menangani pandemi sambil menghidupkan perekonomian.


"Kita tahu ada banyak sekali negara dunia yang bergantung pada mobilitas lintas batas. Karena dulu sebelum ada teknologi, negara-negara yang belum berhasil menangani penyakit menular akan terkucil dari pergaulan negara lain," tuturnya.


"Kalau diingat-ingat, aplikasi e-HAC dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) prinsipnya sama (dengan ide paspor vaksinasi COVID-19 digital). Ada pengisian data untuk tracing dan itu memang wajib dalam situasi pandemi begini. Hanya saja aplikasi yang nantinya akan diterapkan bersifat lintas batas, jadi akan ada pengumpulan data lintas negara," imbuh Dinna.


Sisi Negatif Paspor Vaksinasi


Di sisi lain, Dinna menjelaskan, paspor digital vaksinasi COVID-19 juga punya sisi negatif. Pertama, adanya kemungkinan biaya tambahan yang belum tentu menguntungkan bagi negara dan masyarakat yang relatif rendah kemampuan manajemen teknologi dan ekonominya.


Pasalnya, pengadaan paspor vaksinasi COVID-19 digital berarti negara dengan kategori tersebut perlu membeli jasa pengelolaan dari negara lain dan warganya perlu memenuhi pembelian perangkat elektronik tertentu agar saat melakukan perjalanan memenuhi standar keamanan kesehatan yang ditetapkan di negara tujuan.


"Bayangkan pekerja migran Indonesia yang berketerampilan rendah, berarti negara butuh perlindungan ekstra buat para pekerja tersebut. Padahal, anggaran negara, kita tahu, minim untuk fungsi perlindungan pekerja migran," ujarnya.


Kekurangan lain, sambung Dinna, orang-orang yang butuh pengobatan atau berpindah negara karena ikatan keluarga, padahal tidak bisa divaksin, entah karena penyakit bawaan atau sedang hamil dan menyusui, akan terdampak tidak bisa pergi ke luar negeri. Dengan kata lain, situasi belum bisa dikatakan normal meski nantinya ada paspor vaksinasi COVID-19 digital.


"Lalu, ada tantangan sementara, yakni perihal keamanan penyimpanan data pribadi dari individu-individu yang berpindah lintas batas," tuturnya.


"Saya pikir masalah keamanan data ini seharusnya bukan masalah serius, mengingat dengan sistem paspor elektronik yang ada sekarang pun pihak imigrasi di dunia punya perjanjian dan standar internasional yang bisa dipenuhi. Berarti, mesti disegerakan negosiasi internasional terkait standar keamanan penyimpanan data paspor COVID-19," imbuhnya.


Sarat Isu Diskriminasi


Terkait rencana paspor vaksinasi COVID-19 digital, beberapa negara, seperti Prancis dan Jerman, menyuarakan kekhawatiran bahwa kemudahan perjalanan bagi orang-orang yang telah disuntik vaksin COVID-19 akan mendiskriminasi kelompok lain.


Menteri Kesehatan Prancis Olivier Veran telah berulang kali mengatakan bahwa terlalu dini untuk membahas paspor vaksinasi karena baru kurang dari tiga juta orang Prancis menerima dosis vaksin pertama. Juga, masih belum jelas apakah vaksin tersebut dapat mencegah penularan.


Soal dilema pengadaan paspor vaksinasi, Dinna menyebut, itu riil. "Tapi, saat ini memang pilihan kebijakan terbatas. Lagi-lagi karena obat penyembuh COVID-19 belum ditemukan," tuturnya.


"Jadi, yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan negosiasi untuk memastikan kelompok masyarakat yang butuh melakukan perjalanan, tapi tidak bisa divaksin, bisa mendapatkan kebijakan tertentu. Lalu, untuk kerja sama bilateral pengiriman pekerja migran, dicapai kesepakatan penanganan vaksinasi dan perawatan bila pekerja migran berangkat atau pulang dalam situasi pandemi," imbuh Dinna.


Sementara itu, Christian Wigand, juru bicara Komisi Eropa, menjelaskan bahwa Digital Green Pass akan melampaui semata status vaksinasi dengan memasukkan riwayat medis pemegang paspor digital. "Kami juga akan melihat kategori informasi lain untuk menghindari diskriminasi warga, seperti hasil tes dan pernyataan pemulihan," kata Wigand.


Menyiapkan sistem dan menerbitkan sertifikat akan memakan waktu setidaknya tiga bulan, ungkap komisi itu. Belum dijelaskan secara eksplisit langkah-langkah legislatif dan teknis apa yang akan diperlukan, atau apakah sistem tersebut akan melampaui warga negara Uni Eropa.


Komisi tersebut mengatakan harus ada cara untuk meningkatkannya secara global, yakni dengan bekerja sama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi, ketika diminta penjelasan lebih rinci, Wigand meminta "sedikit bersabar," menjelaskan bahwa "ini semua masih sangat baru."


Bagaimana dengan Indonesia?


Deputi Bidang Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Kurleni Ukar, menjelaskan bahwa vaksinasi COVID-19 bagi tenaga kerja pariwista dan ekonomi kreatif (parekraf) telah terlaksana di Bali mulai 27 Februari 2021 lalu melalui program Grab Vaccine Center di BNDCC Bali.


Ini, kata Kurleni, merupakan inisasi Grab Indonesia, Good Doctor Technology, Dinas Pariwisata Provinsi Bali, dan stakeholder pariwisata Bali. "Program ini didukung penuh oleh Kemenkes dan Kemenparekraf," katanya melalui pesan, Kamis, 4 Maret 2021.


"Selain menjamin penerapan protokol kesehatan 3M dan 3T, serta sertifikasi CHSE terus berjalan secara masif, program vaksinasi COVID-19 bagi tenaga kerja parekraf jadi kunci dan kebutuhan prioritas untuk program vaksinasi tahap kedua," tuturnya.


Selain di Bali, pelaku sektor parekraf di Kepulauan Riau telah diusulkan pihaknya dalam tahap awal vaksinasi COVID-19. Soal target penyelesaian, kata Kurleni, itu sangat tergantung dari ketersediaan vaksin yang dapat disiapkan Kemenkes.


"Kami bersama pemerintah daerah dan industri setempat siap bersinergi untuk menyukseskan program vaksinasi ini," ujarnya. Ia menyambung, program vaksinasi yang sudah berjalan untuk golongan tertentu pada tahap satu dan dua dipercaya akan membawa pengaruh terhadap ketahanan destinasi wisata.


"Semakin banyak kelompok sasaran penerima vaksin di suatu destinasi wisata, selain meningkatkan kekebalan kelompok, juga akan membangkitkan rasa percaya diri dan kepercayaan wisatawan untuk datang berwisata ke destinasi tersebut," tuturnya.


Hingga saat ini, kata Kurleni, syarat perjalanan domestik masih berupa hasil negatif tes RT PCR Swab maupun rapid test antigen, bahkan bagi mereka yang telah menjalani vaksinasi COVID-19. "Kami tentu berharap ada pelonggaran dalam aturan perjalanan, khususnya bagi wisatawan nusantara, setelah vaksinasi berhasil dilaksanakan secara masif," katanya.


Di samping, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri perihal kebijakan travel bubble untuk mendatangkan wisatawan mancanegara (wisman). "Apakah akan ada 'paspor vaksinasi COVID-19 digital' sebagai sebuah kebijakan baru antarnegara? Kita lihat saja nanti," tuturnya.


"Namun, yang pasti, kita harus menjamin agar semua traveler, baik warga negara asing maupun WNI, yang masuk ke Indonesia harus dinyatakan sehat dan bebas COVID-19," sambungnya.


Soal narasi pengadaan paspor vaksinasi COVID-19 digital, Dinna menyambung, bisa jadi ini juga diterapkan di Indonesia. "Negara belajar dari satu sama lain tentang caranya menangani masalah yang bersifat global," tutupnya.

5 views0 comments
bottom of page