top of page
  • Writer's pictureSynergy Policies

Makna Ketidakhadiran dalam Diplomasi




by Dinna Prapto Raharja, Founder of Synergy Policies,

Associate Professor in International Relations



Presiden Joko Widodo (Jokowi) melewatkan kesempatan untuk tampil selama tiga kali berturut-turut dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Minggu lalu. Ketidakhadiran tersebut telah mengundang banyak pertanyaan dari berbagai kalangan.


Sebagian mengkritik ketidakhadiran tersebut telah melemahkan posisi Indonesia dalam pergaulan internasional. Namun, sebagian lain mendukung ketidakhadiran presiden karena kepentingan dalam negeri harus diutamakan daripada kepentingan lainnya.


Penilaian tentang dampak baik atau buruk dari ketidakhadiran itu sendiri jauh lebih penting berdasarkan tujuan diplomasi suatu negara dalam skala makro dan jangka yang lebih panjang. Presiden Jokowi sendiri sebagian besar kepala negara-negara anggota ASEAN lain juga tidak hadir dalam Sidang Umum PBB kali ini.


Pemimpin Myanmar yang menjadi pusat perhatian dunia, Aung San Suu Kyi, melewati kesempatan untuk demi menghindari kritik dunia atas kasus Rohingya. Presiden Duterte dari Filipina juga tidak menghadiri Sidang Umum PBB untuk kedua kali sejak menjabat presiden dengan alasan agenda dalam negeri yang mendesak, terutama krisis di Marawi.


Namun sebetulnya, ia juga menghindari sorotan dunia atas pembunuhan tanpa pengadilan (extra judicial killings) yang dilakukan terhadap 13.000 orang yang diklaim sebagai pelaku kejahatan narkoba. Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang selalu menghadiri Sidang Umum PBB sejak tahun 2009 hingga 2015 juga tidak hadir pada tahun ini setelah tahun 2016 absen.


Ketidakhadiran ini tentu menimbulkan tanda tanya besar dan kekecewaan sebagai besar pihak terkait dengan kasus Rohingya. Ia adalah kepala negara yang bersuara paling keras di antara negara ASEAN lain tentang Rohingya, dan ia melewatkan satu kesempatan besar untuk menyuarakan kepentingan Malaysia. Aneh, karena seminggu sebelumnya, ia sudah ada di Amerika Serikat (AS) bertemu dengan Presiden AS Donald Trump.


Perdana Menteri Singapura, Thailand, dan negara-negara CMLV (Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam) juga tidak hadir. Apakah ketidakhadiran para kepala negara ASEAN dalam sidang umum adalah sebuah kebetulan atau hal sudah disetujui bersama, itu ada di luar pengetahuan saya. Namun, dampak yang bisa dilihat, terutama terkait dengan nasib etnik Rohingya adalah isu ini tidak meluas di tingkat internasional.


Makna Diplomasi Publik


Secara formal Sidang Umum PBB adalah forum bagi setiap kepala negara menyampaikan pandangan dan pendapatnya dalam 15 menit. Pendapat yang disampaikan secara protokoler biasanya diminta sesuai dengan tema yang diangkat namun dalam kenyataannya tidak sedikit berbicara di luar pesan tematik yang diminta.


Bukan hanya itu, sering kali banyak pemimpin negara berpidato sangat panjang dan melanggar batas waktu yang diberikan. Mereka antara lain, Fidel Castro (Kuba), Sékou Touré (Guinea), Nikita Sergeyevich Khrushchev (Uni-Soviet), dan termasuk Presiden Soekarno. Mereka berbicara lebih dari 2 jam.


Pesan yang disampaikan pada umumnya sangat padat karena terbatasnya waktu. Oleh sebab itu, tidak heran apabila kata-kata yang digunakan juga sangat tajam.


Karena bagi beberapa kepala negara menyampaikan secara terang dan tegas posisi sebuah negara sangat penting sehingga hal itu menjadi norma bagi negara lain ketika mereka hendak membangun kerja sama dengan negara tersebut atau dengan negara lain. Contoh, kecaman Trump terhadap pemimpin Korea Utara akan membatasi upaya kedekatan negara-negara Afrika yang mencoba mengadakan kerja sama perdagangan dengan negara tersebut karena mereka sudah mengetahui sanksi yang akan dihadapi.


Dimensi eksternal lain adalah membangun hubungan informal dengan kepala negara lain. Dalam diplomasi yang penuh simbolisme, hubungan informal yang terbangun selama perjumpaan di ruang VIP atau saat rehat sidang adalah hal penting karena tidak semua yang diucapkan di depan publik mencerminkan kepentingan sesungguhnya dari sebuah negara.


Dalam kasus Timor Leste di masa lalu, hubungan informal kepala negara AS dan Indonesia menjadi penting karena sekeras apa pun sikap AS di panggung internasional, kata-kata atau janji kepala negara AS yang sering kali bertolak belakang dengan apa yang disampaikan di atas panggung adalah kunci tindakan selanjutnya.


Membangun hubungan lebih personal dan pribadi dengan kepala negara lain secara informal adalah radar yang baik untuk menilai posisi negara-negara lain dalam berbagai isu strategis bagi Indonesia, bahkan untuk mengevaluasi posisi Indonesia juga. Dalam pertemuan informal itu bisa diajukan agenda global tertentu setelah mendapatkan dukungan dari sejumlah kepala negara yang juga hadir.


Kepercayaan kadang-kadang timbul setelah kepala negara saling bertemu langsung karena pertukaran informasi yang disampaikan sesama kepala negara terjadi tanpa ada distorsi.


Secara internal kehadiran pemimpin tertinggi sebuah negara juga menjadi insentif dan motivasi bagi korps diplomatik. Seperti halnya ketika Presiden mengunjungi sebuah infrastruktur jalan raya untuk meninjau kemajuan sebuah proyek, para anggota korps diplomatik yang bertugas membangun infrastruktur diplomatik di luar negeri juga sangat termotivasi apabila kepala negara meninjau hasil kerja mereka.


Dalam pengalaman saya dengan para staf dari kedutaan asing di Indonesia, mereka sangat antusias dan bersemangat dalam mendesak agenda-agenda tertentu ke Indonesia apabila mereka mengetahui Presiden atau perdana menteri mereka akan datang.


Memang agenda nasional akan selalu menandingi agenda global, bahkan dalam hubungan internasional, kita mengenal istilah politik luar negeri adalah kepanjangan tangan dari politik dalam negeri. Karena itu, sebenarnya dari seluruh kepala negara di dunia, hanya segelintir kepala negara yang menarik perhatian dunia pada suatu waktu.


Presiden Jokowi adalah salah satu tokoh yang belakangan ini menarik perhatian dunia, selain karena sejumlah terobosannya memprioritaskan pembangunan infrastruktur sampai ke daerah-daerah terpencil, ia juga dikenal teguh dalam pendirian termasuk dalam berhadapan dengan negara-negara lain. Karena selama ini peranan Indonesia di luar negeri memang penting, khususnya dalam arsitektur tatanan regional dan global, orang menunggu-nunggu terobosan Presiden kita di tingkat global juga.


Dalam konteks itu, kita perlu memahami bahwa tendensi menunggu terobosan ini adalah suatu peluang bagi Indonesia mengambil momentum yang kemudian mempermudah agenda-agenda pembangunan kita di tingkat nasional maupun regional.


Sebenarnya dengan tidak hadirnya banyak kepala negara yang lain, Indonesia bisa menjadi pusat perhatian karena pandangannya ditunggu-tunggu. Dengan dilewatkannya kesempatan tersebut, kita telah menghilangkan potensi-potensi pendukung agenda pembangunan kita untuk tahun-tahun mendatang. Dalam diplomasi, apa yang kita lakukan “tanam” hari ini baru akan terasa manfaatnya dalam tahun-tahun mendatang.


This article was originally published in nasional.sindonews.com with the title "Makna Ketidakhadiran dalam Diplomasi" or link https://nasional.sindonews.com/berita/1243199/18/makna-ketidakhadiran-dalam-diplomasi?showpage=all

9 views0 comments
bottom of page